Rabu, 27 April 2011

cara menyucikan hati

Cara Menyucikan Hati



Bismillahir Rohmanir Rohim

Cara Menyucikan Hati

Hati itu bagaikan kacamata. Kalau kita menggunakan kacamata yang bening, apa yang kita lihat akan tampak apa adanya. Yang putih akan jelas putihnya, yang coklat muda akan jelas warna aslinya. Namun kalau kita menggunakan kacamata hitam, apa yang kita lihat tidak akan sesuai aslinya. Yang putih akan kelihatan abu muda dan warna coklat muda akan menjadi coklat tua. Demikian juga hati, kalau hati jernih, kita akan melihat realita itu apa adanya, sementara kalau hati kita kotor atau hitam kita akan melihat realita itu tidak seperti sebenarnya.

Oleh karena itu, mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.
“Sesungguhnya Alloh tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (HR. Muslim)

Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya.
Ada kemungkinan dibalik pekerjaan saleh yang lahiriah itu, ternyata dihatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan dimurkai Alloh SWT. Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata dihatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Alloh SWT memaafkannya.

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan lahir itu hanya merupakan tanda-tanda dhanniyyah (yang diperkirakan) bukan qath’iyyah (bukti-bukti yang pasti). Oleh karena itu tidak diperkenankan berlebih-lebihan dalam menyanjung seseorang yang kita saksikan tekun melaksanakan amal saleh, sebagaimana tidak diperbolehkan pula menistakan seorang muslim yang kita pergoki melakukan perbuatan buruk atau maksiat. Demikian Imam Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya.
Rosululloh SAW, bersabda dalam riwayat lain,
“Ali bin Abi Thalib r.a. menceritakan bahwa Rosululloh SAW bersabda: “Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberi ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia sesungguhnya bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan kemaksiatan hingga sinarnya menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang menutupi cahaya hati kita. Bagaimana caranya?

a. Introspeksi Diri
Introspeksi diri dalam bahasa arab disebut Muhasabatun Nafsi, artinya mengidentifikasi apa saja penyakit hati kita. Semua orang akan tahu apa sebenarnya penyakit qalbu (hati) yang dideritanya itu. (QS 59:18)

b. Perbaiki Diri
Perbaiki diri dalam bahasa popular disebut taubat. Ini merupaka tindak lanjut dari introspeksi diri. Ketika melakukan introspeksi diri, kita kan menemukan kekurangan atau kelemahan diri kita. Nah kekurangan-kekurangan tersebut harus kita perbaiki secara bertahap. Alangkah rugi kalau kita hanya pandai mengidentifikasi kelemahan diri tapi tidak memperbaikinya. (QS 66:8)

c. Tadabbur Al Qur’an
Tadabbur Al Qur’an artinya menelaah isi al Qur’an, lalu menghayati dan mengamalkannya. Hati itu bagaikan tanaman yang harus dirawat dan dipupuk. Nah, di antara pupuk hati adalah tadabbur Qur’an. Alloh menyebutkan orang-orang yang tidak mau mentadabburi Qur’an sebagai orang yang tertutup hatinya. Artinya, kalau hati kita ingin terbuka dan bersinar, maka tadabbur Qur’an. (QS 47:24)

d. Menjaga Kelangsungan Amal Saleh
Amal saleh adalah setiap ucapan atau perbuatan yang dicintai dan diridhoi Alloh SWT. Apabila kita ingin memiliki hati yang bening, jagalah keberlangsungan amal saleh sekecil apapun amal tersebut. Misalnya, kalau kita suka rawatib, lakukan terus sesibuk apapun, kalau biasa pergi ke majelis ta’lim, kerjakan terus walau pekerjaan kita menumpuk.
Rosululloh SAW bersabda, “Beramallah semaksimal yang kamu mampu, karena Alloh tidak akan bosan sebelum kamu bosan, dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Alloh adalah amal yang kontinyu (terus-menerus) walaupun sedikit.” (HR. Bukhari)

e. Mengisi Waktu dengan Dzikir
Dzikir adalah ingat atau mengingat. Dzikrulloh artinya selalu mengingat Alloh. Ditinjau dari segi bentuknya, ada dua macam dzikir. Pertama, Dzikir Lisan artinya ingat kepada Alloh dengan melafadzkan ucapan-ucapan dzikir seperti Subhanalloh, Alhamdulillah, Allohu Akbar, Laa Ilaaha ilallah, dll. Kedua Dzikir Amali artinya dzikir (ingat) kepada Alloh dalam bentuk penerapan ajaran-ajaran Alloh SWT dalam kehidupan. Misalnya jujur dalam bisnis, tekun saat bekerja, dll. Hati akan bening kalau hidup selalu diisi dengan dzikir lisan dan dzikir amali. (QS 33:41-42, QS 2:152)

f. Bergaul dengan Orang-orang Saleh
Lingkungan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Karena itu, kebeningan hati erat juga kaitannya dengan siapakah yang menjadi sahabat-sahabat kita. Kalau kita bersahabat dengan orang yang jujur, amanah, taat pada perintah Alloh, tekun bekerja, semangat dalam belajar, dll, diharapkan kita akan terkondisikan dalam atmosfir (suasana) kebaikan. Sebaliknya, kalau kita bergaul dengan orang pendendam, pembohong, pengkhianat, lalai akan ajaran-ajaran Alloh SWT, dikhawatirkan kita pun akan terseret arus kemaksiatan tersebut. Karena Alloh SWT mengingatkan agar kita bergaul dengan orang-orang saleh seperti dikemukakan dalam QS 18:28.

g. Berbagi dengan Fakir, Miskin, dan Yatim
Berbagi cinta dan ceria dengan saudara-saudara kita yang fakir, miskin, dan yatim merupakan cara yang sangat efektif untuk meraih kebeningan hati, sebab dengan bergaul bersama mereka kita akan merasakan penderitaan orang lain.
Rosululloh SAW bersabda, “Abu Hurairah r.a. bercerita bahwa seseorang melaporkan kepada Rosululloh SAW tentang kegersangan hati yang dialaminya. Beliau SAW menegaskan, “Bila engkau mau melunakkan (menghidupkan) hatimu, beri makanlah orang-orang miskin dan sayangi anak-anak yatim.” (HR. Ahmad)

h. Mengingat Mati
Modal utama manusia adalah umur. Umur merupakan bahan bakar untuk mengurangi kehidupan. Kebeningan hati berkaitan erat dengan kesadaran bahwa suatu saat bahan bakar kehidupan kita akan menipis dan akhirnya habis. Kesadaran ini akan menjadi pemacu untuk selalu membersihkan hati dari awan kemaksiatan yang menghalangi cahaya hati. Rosululloh Saw menganjurkan agar sering berziarah supaya hati kita lembut dan bening.
“Anas r.a mengatakan Rosululloh SAW bersabda: “Dulu, aku pernah melarang kalian berziarah ke kuburan. Namun sekarang berziarahlah, karena ia dapat melembutkan hati, mencucurkan air mata, dan mengingatkan akan hari akhirat.” (HR. Hakim)

i. Menghadiri Majelis Ilmu
Hati itu bagaikan tanaman, ia harus dirawat dan dipupuk. Di antara pupuk hati adalah ilmu. Karena itu, menghadiri majelis ilmu akan menjadi media pensucian hati. Rosululloh SAW menyebutkan bahwa Alloh SWT akan menurunkan rahmat, ketenangan dan barokah pada orang-orang yang mau menghadiri majelis ilmu dengan ikhlas.
“Tidak ada kaum yang duduk untuk mengingat Alloh, kecuali malaikat akan menghampirinya, meliputinya dengan rahmat dan diturunkan ketenangan kepada mereka, dan Alloh akan menyebutnya pada kumpulan (malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

j. Berdo’a kepada Alloh SWT
Alloh SWT berkuasa untuk membolak-balikan hati seseorang. Karena itu sangat logis kalau kita diperintahkan untuk meminta kepada-Nya dijauhkan dari hati yang busuk dan diberi hati yang hidup dan bening. Menurut Ummu Salamah r.a. do’a yang sering dibaca Rosululloh saat meminta kebeningan hati adalah: Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika. Perhatikan riwayat berikut:
“Syahr bin Hausyab r.a. mengatakn bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai ibu orang-orang yang beriman, do’a apa yang selalu diucapkan Rosululloh SAW saat berada disampingmu?” Ia menjawab: “Do’a yang banyak diucapakannya ialah “Ya Muqallibal quulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (Wahai yang membolak balik qalbu, tetapkanlah qalbuku pada agama-Mu).” Ummu Salamah melanjutkan, “aku pernah bertanya juga, “Wahai Rosululloh,alangkah seringnya engkau membaca do’a ini, Beliau menjawab: “Wahai Ummu Salamah, tidak ada seorang manusia pun kecuali qalbunya berada antara dua jari Tuhan Yang Maha Rahman. Maka siapa saja yang Dia kehendaki, Dia luruskan, dan siapa yang Dia kehendaki, Dia biarkan dalam kesesatan.”(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Selain do’a diatas, Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa ketika menginap di rumah Rosululloh Saw, ia pernah mendengar beliau mengucapkan do’a berikut:
“Ya Alloh, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di lidahku cahaya, di pendengaranku cahaya, di penglihatanku cahaya. Jadikanlah dibelakangku cahaya, di hadapanku cahaya, dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya. Ya Alloh berikan kepadaku cahaya.” (HR. Muslim)

Hati merupakan panglima untuk seluruh anggota jasad kita. Kalau hati bening, kelakuan kita pun akan beres. Tapi, kalau hati kita busuk, seluruh amaliah pun busuk. Ada 10 (sepuluh) cara agar kita memiliki hati yang suci seperti yang tersebut di atas. Mudah-mudahan Alloh SWT selalu membari kepada kita hati yang bening. Amiin...
Wallohu A’lam.



Tetap update tulisan dari Aslamiyah di manapun dengan http://m.Abatasa.com dari browser ponsel anda!

Senin, 28 Maret 2011

ada dua tetesan yang haram tersentuh neraka. Tetesan air mata karena tangisan kepada Allah saat shalat malam dan tetesan darah syuhada yang berjihad di jalan Allah…

Rabu, 09 Maret 2011

perbedaan adalah rahmat

"Adalah menyia-nyiakan waktu berdebat tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang baik. Bersatulah!"

Imam Malik satu hari masuk ke Masjid setelah Ashar. Saat memasuki Masjid An-Nabawi beliau mendekat dan duduk. Rasulullah telah memerintahkan bahwa siapa pun yang memasuki Masjid sebaiknya tidak langsung duduk sampai ia pertama kali shalat 2 rakaat sebagai salam untuk Masjid. Imam Malik berpendapat bahwa Allah melarang Rasul shalat setelah shalat Ashar dan dia akan mengajarkan murid-muridnya untuk tidak shalat tahiyyatul Masjid jika mereka masuk pada waktu antara Ashar dan Maghrib. Pada saat Imam Malik duduk, seorang anak muda melihatnya duduk tanpa terlebih dahulu shalat 2 rakaat Tahiyyatul Masjid. Anak muda mencemooh dia, "Bangunlah dan shalat 2 rakaat!"

Imam Malik patuh berdiri dan mulai shalat 2 rakaat. Para siswa duduk tertegun: Apa yang terjadi? Apakah pendapat Imam Malik berubah?

Setelah ia telah menyelesaikan shalat, para siswa mengerumuninya dan mempertanyakan tindakannya. Imam Malik berkata, "Pendapatku tidak berubah, juga aku tidak menarik kembali pada apa yang aku ajarkan sebelumnya. Aku hanya takut bahwa seandainya aku tidak shalat 2 rakaat sebagaimana diperintahkan anak muda, Allah mungkin memasukkan saya di Ayat...

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Rukuklah (dalam shalat)', mereka tidak rukuk." - Al Mursalat 77/48.

Imam Ahmad berpegang pada pendapat bahwa makan daging unta membatalkan Wudhu, berbeda berpendapat dengan mayoritas ulama. Beberapa siswa bertanya kepadanya, "Jika Anda menemukan seseorang makan daging unta dan menjadi Imam di depan Anda - tanpa terlebih dahulu Wudhu - kemudian memimpin Shalat, akankah anda shalat di belakangnya?" Imam Ahmad menjawab, "Apakah kamu pikir aku tidak akan shalat di belakang Imam Malik dan Sa'id ibn Al-Musayyab?"

Allah menciptakan manusia dengan perbedaan. Ini adalah hukum penciptaan. Bahasa yang berbeda, warna kulit berbeda, budaya yang berbeda... Itu semua yang di luar. Di dalam, manusia diciptakan dengan banyak derajat pengetahuan, kecerdasan, dan pemahaman konsep. Ini semua tanda dari Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya untuk melakukan apapun yang Dia kehendaki:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan berbeda dalam bahasa Anda dan warna kulit Anda: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi mereka yang tahu." [30:22]

Manusia pasti berbeda, ini tidak masalah. Masalahnya adalah: Bagaimana sebagai seorang muslim harus satu dalam menghadapi perbedaan-perbedaan pendapat dan bagaimana seharusnya hubungan kita dengan seseorang yang pendapatnya berbeda.

Allah ta'ala memerintahkan kita untuk memanggil dan menasihati orang dalam Din Al-Islam ini. Banyak Muslim yang menjalankan misi ini tertutup matanya, tidak menyadari bahwa petunjuk tersebut ada juga di dalam Al Qur'an. Bahkan, dalam ayat yang sama dimana Allah memerintahkan kita untuk memanggil dan menasihati orang-orang di Din ini, Allah mengajarkan kita bagaimana untuk melakukannya. Bacalah ayat berikut ini dengan seksama:

"Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik!" - Surah An-Nahl 16/125.

Tidak perlu berfilsafat. Tidak perlu bicara di taman bunga. Langsung ke pokok, polos dan sederhana untuk siapa saja yang mau mengambil pelajaran.

Di Ayat tersebut ada tiga resep untuk bersikap ketika kita tidak setuju dengan seseorang. Allah mengajarkan kita bila berdebat tentang kebenaran, mengajarkan kita bagaimana untuk melakukannya:

1. Dengan Hikmah (kebijaksanaan)
2. Dengan instruksi yang baik, dan
3. Untuk berdebat dengan cara yang paling baik.

Apa artinya memiliki Hikmah saat berbeda dengan seseorang? Cucu dari Rasulullah SAW pernah menunjukkan salah satu contoh yang paling indah dari Hikmah dalam menasihati orang lain. Al-Hasan dan Al-Husain - dalam usia muda mereka - pernah melihat seorang laki-laki tua mengerjakan Wudhu secara tidak benar. Bersama-sama mereka mengatur rencana untuk mengajarkan manusia tanpa menghinanya, menasihatinya sesuai dengan usianya.

Bersama-sama mereka pergi ke orang tua itu dan mengumumkan, "kakakku dan aku berbeda pendapat tentang siapa di antara kami yang melakukan Wudhu paling baik.. Apakah Anda mau menjadi hakim untuk menentukan siapa salah satu dari kami yang melakukan Wudhu lebih benar?"

Pria itu memperhatikan dua cucu Rasulullah SAW melakukan Wudhu secara eksplisit. Setelah mereka selesai, ia mengucapkan terima kasih kepada mereka dan berkata, "Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana melakukan Wudhu sebelum ini. Kalian berdua mengajariku bagaimana melakukannya dengan benar."

Kita harus memahami bahwa ada dua dimensi Hikmah. Pertama, adalah Hikmah pengetahuan - Hikmah Ilmiyyah. Dan kedua, adalah Hikmah Aksi - Hikmah Amaliyyah.

Beberapa orang mungkin memiliki Hikmah pengetahuan. Tetapi kita melihat bahwa ketika mereka mencoba mengoreksi orang lain, menasehati mereka, mereka tidak memiliki Hikmah Aksi. Hal ini menyebabkan banyak orang umum menolak Hikmah pengetahuan.

Untuk menggambarkan Hikmah pengetahuan tanpa Hikmah tindakan ini, saudara sesekali menyelesaikan Shalat di Masjid setempat dan kemudian mulai berjabat tangan dengan orang-orang di kanan dan kiri. Saudara mendapatkan uluran tangan dari sebelah kanan dan langsung menampar tangannya dan membentak, "Itu bukan bagian dari Sunnah!" Orang itu menjawab paling benar, "Oh, sedang kan menghina dan tidak menghormati orang lain adalah bagian dari Sunnah?"

Untuk menunjukkan Hikmah ketika kita berbeda pendapat memerlukan sebagai berikut:

Satu: Ketulusan. Jika kita berbeda, niat kita seharusnya bahwa kita berbeda dengan harapan tulus untuk datang dan pergi dengan kebenaran. Niat kita harus tulus kepada Allah.

Kita tidak seharusnya berbeda hanya untuk melepaskan benci atau iri dalam hati kita. Kita tidak seharusnya berbeda untuk mempermalukan orang seperti kita mungkin telah dipermalukan.

Rasulullah berkata, "Barangsiapa yang mempelajari pengetahuan - pengetahuan dari apa yang harus dicari demi Allah - hanya untuk mendapatkan komiditas dunia materi, ia tidak akan mencium bau wangi surga pada hari kebangkitan." - Sebuah hadits otentik diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilm.

Dua: Kebaikan dan Kelembutan. Untuk memiliki Hikmah ketika berbeda berarti kita harus tidak meninggalkan suasana kebaikan dan kelembutan, kita harus jangan membiarkan diri kita menjadi marah dan meninggikan suara kita.

Firaun adalah salah satu orang yang paling jahat yang pernah hidup. Musa adalah salah satu yang paling mulia. Lihatlah bagaimana Allah mengatakan kepada Musa untuk menasihati Fir'aun...

"Pergilah, kalian berdua, kepada Fir'aun. Sesungguhnya dia telah melanggar. Dan berbicara kepadanya dengan suara lembut, mungkin ia akan ingat atau takut (kepada Allah)."

Seorang pria satu kali masuk pada Khalifah dan menghukum dia untuk beberapa kebijakan yang telah diambil. Khalifah menjawab, "Demi Allah, Fir'aun adalah lebih jahat daripada aku. Dan demi Allah, Musa lebih saleh daripada engkau, Namun Allah memerintahkan dia... 'berbicaralah dengannya dengan perkataan yang lembut, mungkin ia dapat mengingat atau takut (kepada Allah)."

Tiga: Luangkan Waktu Anda dan Klarifikasi. Untuk memiliki Hikmah ketika berhadapan dengan orang lain adalah untuk bersabar dan mendapatkan kejelasan sebelum sampai kepada kesimpulan.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan rantai perawinya yang mengarah ke Ibnu Abbas yang berkata, "Seorang pria dari Bani Salim melewati sekelompok sahabat Nabi (pada saat perang). Orang itu berkata 'as salamu alaikum' kepada mereka. Para sahabat menyimpulkan bahwa dia hanya mengatakan 'as salamu alaikum' kepada mereka sebagai penipuan untuk menyelamatkan dirinya agar tidak ditangkap. Mereka mengelilingi dia dan Malham bin Juthaamah membunuhnya. Dari peristiwa itu Allah menurunkan ayat ini...

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." Surah Annisa, 4:94.

Keempat: Berbicara baik. Jangan pernah menukar kata-kata baik dengan kekerasan, terutama ketika berhadapan dengan umat Islam lainnya.

Lihatlah kekuatan kata tulus dan sopan: Mus'ab bin Umair adalah duta besar Rasulullah yang pertama di Madinah. Sebelum Rasulullah tiba di Madinah, Mus'ab mengajarkan penduduk Madinah tentang Islam dan mereka mulai memasuki Din Islam.

Sa'd ibn 'Ubaadah, salah satu pemimpin Madinah marah. Ia menyarungkan pedangnya dan berangkat untuk mencari kepala Mus'ab ibn 'Umayr. Ketika ia berhadapan dengan Mus'ab ia mengancam, "Hentikan bicara omong kosongmu atau kau akan menemukan dirimu mati!"

Mus'ab menjawab dengan cara yang seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Lelaki di depannya ini tidak berhenti pada kekasaran dan kebodohan, ia ingin menggorok tenggorokannya.

Mus'ab berkata, "Apakah tidak sebaiknya Engkau duduk dan mendengarkan selama beberapa saat.. Jika Engkau setuju dengan apa yang saya katakan ambillah, dan jika tidak, kita akan berhenti dari membicarakan ini" Sa'd duduk.

Mus'ab berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya sampai wajah Sa'd bin Ubaadah bersinar seperti bulan purnama dan dia berkata, "Apa yang harus dilakukan seseorang yang ingin masuk ke dalam Din ini?" Setelah Mus'ab mengatakan kepadanya ia berkata, "Ada seorang pria, jika ia menerima Din ini, tidak akan ada rumah di Madinah yang tidak akan menjadi muslim. Dialah Sa'd bin Mu'aadh."

Ketika Sa'ad bin Mu'aadh mendengar apa yang terjadi, ia marah. Dia meninggalkan rumahnya untuk pergi dan membunuh orang yang disebut Mus'ab bin Umair untuk menghentikan yang ia lakukan. Ia datang pada Mus'ab dan mengumumkan, "Engkau harus berhenti dari agama yang engkau bicarakan atau engkau akan menemukan dirimu mati!"

Mus'ab menjawab, "Apakah tidak sebaiknya Engkau duduk dan mendengarkan selama beberapa saat. Jika Engkau setuju dengan apa yang saya katakan ambillah, dan jika tidak, aku akan berhenti dari pembicaraan ini." Sa'd duduk.

Mus'ab berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya sampai wajah Sa'ad bin Mu'aadh bersinar seperti bulan purnama dan dia berkata, "Apa yang harus dilakukan seseorang yang ingin masuk ke dalam Din ini?"

Lihatlah apa yang dilakukan oleh kata-kata yang baik itu. Sa'd ibn Mu'aadh pulang ke suku Madinah malam itu dan mengumumkan kepada mereka semua, "Segalanya yang ada padamu adalah Haram bagiku sampai engkau semua masuk ke dalam Islam."

Malam itu, setiap rumah di Madinah pergi tidur dengan Laa ilaaha illa Allah... semua karena kata-kata yang baik.


Siapa yang menang?

Mu'awiyah ibn al-Hakam al-Salami. Ketika ia datang ke Madinah dari gurun, dia tidak tahu bahwa dilarang untuk berbicara selama mengerjakan shalat. Dia menceritakan: "Sementara aku sedang shalat di belakang Rasulullah SAW, seorang pria bersin, jadi aku berkata 'Yarhamuk Allah' (semoga Allah merahmati Anda)." Orang-orang melotot ke arahku, sehingga aku berkata, 'Apakah ibuku kehilanganku?! Apa yang salah dengan mu sehingga engkau melotot kepadaku?' Mereka mulai menampar paha mereka dengan tangan mereka, dan ketika aku melihat bahwa mereka menunjukkan bahwa aku harus diam, aku berhenti berbicara (aku hampir ingin menjawab mereka kembali, tapi aku mengendalikan diri dan diam).

Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat - Aku belum pernah melihat guru yang lebih baik daripada dia sebelum atau setelahnya - dia tidak memarahiku atau memukulku atau membuatku malu. Dia hanya mengatakan, 'Shalat ini harus tidak berisi apa-apa tentang pembicaraan manusia, melainkan hanya tasbiih dan takbir dan bacaan dari Al-Qur'an.' "(Shahih Muslim, 'Abd al-Baaqi edn.., 537).

Islam menunjukkan kepada kita bagaimana untuk berbeda dengan satu sama lain. Beberapa orang berpikir bahwa kita tidak boleh berbeda sama sekali dan semua perbedaan pendapat harus dihindari. Sebenarnya, ini adalah asumsi yang salah, Al-Qur'an dan Sunnah menunjukkan dengan jelas bahwa ketika terjadi kesalahan itu harus diperbaiki. Justru membantu orang lain melakukan apa yang benar adalah yang disyaratkan dalam Din, Nasihat yang tulus.

Kita melihat ketika Rasulullah berpaling dari Abdullah ibn Ummu Maktoom, orang buta, Allah mengoreksinya dalam Al-Qur'an ...

"(Nabi) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang kepadanya orang buta. Tapi apa yang bisa memberi tahu engkau bahwa barangkali ia akan menjadi murni (dari dosa) nya? Atau bahwa ia dapat menerima peringatan, dan peringatan yang mungkin keuntungan baginya?" - Surah Abasa, 1-4

Ketika Haatib bin Abi Balta'ah RA membuat kesalahan dengan menulis kepada orang-orang kafir Quraisy dan menginformasikan kepada mereka tentang arah ke mana Nabi Saw berjalan pada kampanye militer melawan mereka, Allah mengungkapkan kata-kata:

"Hai kalian yang beriman! Jangan ambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman ..." - Surah Mumtahanah:1

Dan seterusnya. Jadi kita belajar bahwa ketika terjadi kesalahan, itu harus diperbaiki. Namun, metode koreksi yang bagaimana yang perlu menjadi perhatian kita.

Setiap kali Muslim berpendapat, seolah-olah masing-masing pihak membawa spanduk: 'Saya harus menang dan anda harus kalah!' Mencermati Hadits, Sunnah menunjukkan kepada kita bahwa hal ini tidak pernah terjadi dengan cara Rasulullah bertindak. Perhatikan contoh berikut:

"Aku kalah dan anda menang!"

Seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata kepadanya, "Berikan aku dari apa yang Allah berikan kepadamu, bukan dari kekayaan ibumu atau dari kekayaan ayahmu." Para sahabat sangat marah kepada pria tersebut dan melangkah maju untuk mendisiplinkan dia untuk apa yang dia katakan. Rasulullah memerintahkan semua orang untuk menjauhinya.

Kemudian dengan tangan, Rasul Allah membawanya pulang, membuka pintu dan berkata, "Ambillah apa yang engkau inginkan dan tinggalkan apa yang tidak Engkau inginkan." Pria itu melakukannya dan setelah dia selesai, Rasulullah bertanya kepadanya, "Apakah aku menyanjungmu?" "Ya, demi Allah," kata Badui. "Ash hadu alla ilaaha illa laa Allah, wa ashhadu anna Muhammadar Rasul Allah." (Artinya dia memeluk Islam)

Ketika para sahabat mendengar tentang bagaimana orang itu berubah, Rasulullah SAW mengajari mereka. "Sesungguhnya contoh diriku, kalian dan Badui ini adalah seperti seorang pria yang mendapatkan untanya melarikan diri. Warga kota menangkap unta untuknya dengan berlari dan berteriak kepada unta, hanya untuk mengusir unta itu lebih jauh. Pria itu akan berteriak, 'Tinggalkan aku dan untaku, aku mengetahui untaku lebih baik." Lalu ia mengambil beberapa rumput di tangannya, mengacung-acungkan di depan unta, sampai ia datang dengan rela.

'Demi Allah, seandainya aku meninggalkan kepada kalian Badui ini, kalian akan memukulnya, menyakitinya, ia akan meninggalkan Islam dan akhirnya masuk neraka. "

"Aku menang dan kau kalah!"

Seorang muslim tidak boleh memiliki sikap pembelaan untuk segala yang dihadapkan kepadanya. Ada kalanya kebenaran harus dikatakan, ketika tidak ada ruang untuk pujian.

Ketika para wanita Makhzoomi - perempuan dari keluarga kaya - mencuri, Rasulullah didekati orang agar hukumannya dibatalkan. Rasulullah menjadi sangat marah dan berdiri di atas mimbar dan mengumumkan, "Demi Allah, bila Fatima putri Muhammad mencuri saya akan memotong tangannya."

Tidak ada ruang untuk pujian, kebenaran harus ditegakkan. Di sinilah etiket dalam perselisihan yang kita bicarakan sebelumnya.

"Aku menang dan anda menang!"

Tidak selalu harus menjadi pecundang. Kita melihat dalam banyak kasus bahwa Rasulullah memberi jalan keluar bagi orang-orang yang berbeda dengannya.

Ketika ia mengirimkan surat kepada Kaisar, kata-kata di dalamnya, "Menjadi Muslim dan engkau akan aman, Allah akan memberikan balasanmu ganda!"

Dia tidak mengatakan menyerah atau mati! Tidak seperti itu. Menjadi Muslim dan Anda akan menang, dan kemenangan Anda ganda.

Saya akan akhiri dengan contoh bersinar tentang bagaimana bertindak terhadap Muslim lain dari peran model kita, Abu Bakar:

Abu Bakar suatu kali bertentangan dengan rekan yang lain tentang pohon. Selama sengketa Abu Bakar mengatakan sesuatu yang lebih baik tidak ia katakan. Dia tidak mengutuk, dia tidak menyerang kehormatan seseorang, ia tidak menunjuk kesalahan siapa pun, semua yang ia katakan adalah sesuatu yang mungkin telah melukai perasaan rekan lain tersebut.

Segera, Abu Bakar - memahami kesalahannya - memerintahkannya, "Katakanlah kembali padaku!" pendamping itu berkata, "Saya tidak akan mengatakan kembali." "Katakanlah kembali kepadaku," kata Abu Bakar, "Atau aku akan mengadukan kepada Rasulullah SAW." sahabatnya menolak untuk mengatakan kembali dan melanjutkan perjalanan.

Abu Bakar pergi ke Rasulullah SAW dan menceritakan terkait apa yang telah terjadi dan apa yang dia katakan. Rasulullah SAW memanggil rekan tersebut dan bertanya kepadanya, "Apakah Abu Bakar berkata begitu dan begitu kepadamu?" Dia berkata, "Ya." Dia berkata, "Apa yang kau jawab." Dia berkata, "Aku tidak membalas kembali padanya." Rasul Allah berkata, "Bagus, jangan membalas kembali padanya (tidak menyakiti Abu Bakar) '. Sebaliknya katakanlah,' Semoga Allah mengampuni kamu wahai Abu Bakar!"

Sahabat itu berbalik kepada Abu Bakar dan berkata, "Semoga Allah mengampuni engkau wahai Abu Bakar! Semoga Allah mengampuni engkau wahai Abu Bakar!" Abu Bakar berbalik dan menangis saat ia berjalan pergi.

Mari kita berjalan hari ini dengan tekad untuk menghidupkan kembali udara di mana Rasulullah dan para sahabatnya bernapas, udara kehormatan dan kasih dan persaudaraan.


"Menghormati Perbedaan-perbedaan Kita", oleh Muhammad Alshareef


--
Posting oleh Lintas Islam ke Lintas Islam pada 3/09/2011 11:42:00 AM

Jumat, 11 Februari 2011

ilmu dan siapa yang dipilihnya

Kepada Siapa Ilmu
Membuka Diri
PADA tahun 966 M Muthahhar pernah menulis
tentang jalan ideal mencari ilmu bagi kaum muslim:
"Ilmu pengetahuan akan membuka diri hanya
kepada orang-orang yang dengan sepenuh hati menyerahkan
diri kepada ilmu; yang mendekatinya dengan pikiran
yang bersih dan wawasan yang jernih; yang memohon
pertolongan Allah semata dan memfokuskan perhatian
pada ilmu; yang selalu siap sedia meski dalam keadaan
letih dan lelah, yang melewatkan malam-malam tanpa
tidur, meniti dari dasar yang terdalam mendaki ke puncak
yang tertinggi. Ilmu tidak akan membuka diri pada orangorang
yang mengejarnya tanpa tujuan yang jelas dan
upaya yang terencana; atau orang yang mirip unta buta,
berjalan meraba-raba di kegelapan. Seorang pencari ilmu
tidak boleh menyerah kepada kebiasaan buruk atau membiarkan
dirinya tersesat oleh rayuan nafsu yang keji.
Demikian juga ia tidak boleh memalingkan mata dari
kebenaran yang terdalam. Ia harus bisa membedakan
antara ragu dan yakin, antara asli dan palsu dan harus
berdiri kokoh dengan cahaya terang. []

Sabtu, 29 Januari 2011

Pringgodani

Eyang Koconegoro
1. Yen kang uning sajroning kaweruh  kewuhan sajroning ati,yen tan niru ora lumrah uripe kaesi-esi
2. Ojo koyo si PENGUNG, mung nggugu karepe dhewe, karepe kudu dituruti yen ora dadi nesu lan gelo atine, si WASIS, mung ngiyani supoyo gedhe atine nanging dudu sak benere

Jumat, 28 Januari 2011

the wise
1. Balance is the key to life
                    keseimbangan adalah kunci kehidupan
2. Always remember that success as a ladder, not an escalator
          Ingat kesuksesan adalah sebuah tangga, bukan eskalator
3. Plan your work and work your plan
                    Rencanakan pekerjaanmu dan kerjakanlah itu
4. The time for action is now, it is never to late to do something
          Lakukan sekarang karena tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan itu
5. To be successful, you need to develop the hunger for it
                     Milikilah hasrat untuk meraih kesuksesan
6. Practice makes perfect, The more hours you put into it, the better you are at it
          Ketekunan menghasilkan kesempurnaan, semakin banyak waktu yang diberikan akan semakin mahir          adanya
7. Teamwork is the catalyst that yields exellence from shared strengths
          Kerjasama adalah perubahan yang menghasilkan kesempurnaan dan saling menguatkan satu sama lain
8. Attitude is a little thing that makes a big difference
                      Sikap adalah hal kecil yang membawa pengaruh besar
9. Skill and confidence are unconquered army
             Kepercayaan dan kemampuan adalah kekuatan yang tidak terkalahkan